14 December 2007

Bakri Lebih Kaya dari Nabi Sulaiman

Esei Bangbang Wetan, Emha Ainun Nadjib
tulisan ini ditampilkan di Harian SURYA, edisi Sabtu 15 Desember 2007
Lupa tahun berapa. Pak Harto masih berkuasa. ABRI dan Golkar sedang kuat-kuatnya. Menteri Agama waktu itu Pak Tarmidzi Taher, Pangdam Jatim Pak Hartono Banyuanyar
Madura, Gubernur Jatim mungkin Pak Basofi Sudirman. Seingat saya ketiga beliau hadir
di BPPM Pondok Gontor Ponorogo siang itu bersama Bambang Tri Hatmojo boss Bimantara.

RCTI meliput acara itu untuk siaran tunda, dipimpin langsung oleh direkturnya: Andy
Ralli Siregar. Waktu itu RCTI masih sempit wawasan dan pengalaman pasarnya, sehingga menyangka saya dan KiaiKanjeng layak tayang.
Kesempitan wawasan itu segera dibayar dengan pernyataan pengunduran diri sang Direktur hanya beberapa puluh menit sesudah saya dan KiaiKanjeng naik panggung.

Pasalnya, beberapa menit saya di panggung, saya dikasih kertas kecil berisi peringatan agar saya hati-hati bicara terutama karena ada anaknya Pak Harto. Maka saya benar-benar sangat berlaku hati-hati. Saya mengangkat tangan kiri dengan hati-hati, telunjuk saya luruskan dengan hati-hati dan saya tudingkan ke arah Bambang Tri Hatmojo.

Tangan saya adalah anugerah Allah yang sangat mahal, sehingga saya gunakan pula untuk menuding orang yang paling mahal dan penting.
"Bambang Tri!", kata saya dengan hati-hati.
"Nanti pulang ke rumah bukalah buku catatan kekayaanmu. Coba dihitung dengan seksama berapa persen yang halal, berapa persen yang haram dan berapa persen yang syubhat...."

Karena atmosfir suasana dan wajah semua orang yang hadir terutama para pejabat tinggi menjadi sangat tegang dan kebingungan.
saya meneruskan : "Saya tahu kata-kata dan sikap saya sangat menusuk dan menyakitkan hati Bung Bambang, tetapi mohon diingat bahwa itu hanya secipratan dibandingnya sakitnya hati rakyat selama ini..."

Setelah itu bisa dibayangkan sendiri apa yang terjadi, bagaimana nasib saya, bagaimana nasib Kiai Gontor yang sesepuh saya di hadapan Pak Harto, bagimana nasib Direktur RCTI di depan pemilik Bimantara Bambang Tri Hatmojo dst.

Apalagi ketika kemudian mendadak MC berdiri dan memotong pembicaraan saya dengan mengatakan, "Saudara-saudara demikianlah tadi telah berlangsung seluruh rangkaian acara...."

Spontan dengan hati-hati saya menggebrak meja dan saya bentak MC itu dan saya suruh turun panggung....
Kalau Anda hadir di Bangbang Wetan insyaallah ada kemungkinan saya kisahkan secara
lebih detail apa yang kemudian terjadi. Suharto masih sangat berkuasa, tentara dan
polisi ada di mana-mana karena Pangdam hadir Menteri hadir dan terutama anaknya Pak
Harto hadir.

Jangan dibandingkan dengan situasi sekarang. Ketika Orba semua orang "ndelosor" ketakutan. Beda dengan di masa reformasi, sekarang ini: semua orang pemberani, hebat-hebat, kritis, progresif dan berani melawan siapa saja. Di masa reformasi semua orang bangkit, semua orang bisa jadi Menteri, semua orang bisa jadi Gubernur, anggota DPR, Bupati, Walikota...

Kecuali saya. Saya sangat penakut begitu era reformasi berlangsung. Sehingga kalau umpamanya saya terlibat dalam suatu forum di mana ada Aburizal Bakri, saya jamin saya tidak akan berani mengucapkan kalimat seperti yang saya ucapkan di depan umum
kepada Bambang Tri Hatmojo : "Bung Ical, nanti pulang ke rumah bukalah buku catatan
kekayaanmu. Coba dihitung dengan seksama berapa persen yang halal, berapa persen
yang haram dan berapa persen yang syubhat...."

Mungkin karena beliau saya bayangkan lebih kaya dibanding Nabi Sulaiman, meskipun hal itu harus diinvestigasi. Mungkin juga karena dalam pemetaan struktural global
seperti sekarang belum ada pasal-pasal fiqih yang bisa dipakai sebagai parameter untuk mengukur apakah uang yang itu halal atau haram.
Kausalitas, sebab akibat, asal muasal, ujung pangkal dan sangkan paran setiap lembar uang di tangan seseorang sangat susah ditentukan posisi fiqhiyahnya, halal haramnya.

Yang saya mampu lakukan adalah tiga hari yang lalu khushusan dari Jakarta saya datang ke Sidoarjo untuk berkumpul dengan sekitar 120 perwakilan dan tokoh-tokoh masyarakat korban lumpur yang berjumlah sekitar 11.600 KK atau sekitar 47.000 orang, di luar 290 KK yang masih tinggal di Pasar Porong.
Sebelum itu saya temui dulu Bupati Sidoardjo untuk memastikan di mana "alamat" beliau dalam peta lumpur hari ini dan ke depan.

Alhamdulillah Sidoardjo solid. Nanti Pebruari Sidoardjo Bangkit. Kami menyepakati sejumlah prinsip secara penuh tekad bulat, menyusun sekian agenda bertahap ke depan. Monggo saja.

5 comments:

kw said...

thx. sudah lama saya tak baca tulisan cak nun :)

wahyu nurdiyanto said...

wah lumayan ada yang baca juga. hehe

Bangsari said...

dadi penasaraqn versi offline-ne. biasane cak nun lebih keras dan tajam pada versi offline-ne.

btw wingi aku wis ketemu martha kang. dewekne kok ra ngeblog to?

Anonymous said...

kaya tapi nggak mampu bayar ganti rugi korban lapindo

wahyu nurdiyanto said...

@bangsari : martha cen rodo ndeso hehe.
##Abugosok Bakrie cen asyu...

ayo nyumbang buku