17 May 2007

95 Tahun SK Trimurti



MENGENANG jasa kepahlawanan wartawan senior Sirastri Karma Trimurti, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku `95 Tahun S K Trimurti, Pejuang Indonesia` yang berisi kumpulan tulisan-tulisan terpilih dari SK Trimurti selama masih aktif sebagai wartawan.
Peluncuran buku yang dilakukan di Auditorium Perpusatakaan Nasional Indonesia, Rabu (16/5) itu sekaligus menjadi peringatan ulang tahun SK Trimurtri yang ke 95 tahun yang jatuh tepat pada tanggal 11 Mei.
Buku setebal 300 halaman itu, berisi tulisan-tulisan terpilih karya SK Trimurti dari tahun 1931 hingga 1991.
Pihak Yayasan Bung Karno melalui ketua umum Guruh Soekarno Putra mengatakan, tulisan dalam buku ini dikumpulkan dari berbagai sumber yang tersebar, baik tulisan yang ada di majalah, surat kabar, buku, dan juga makalah.
Tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan kategori tema dan tarikh pembuatannya agar dapat dipahami konteks saat tulisan tersebut dibuat.
Hasilnya buku ini berhasil memuat tujuh bab. Bab I mengenai sosok SK Trimurti, Bab II mengenai Proklamasi dan Pancasila dimana SK Trimurti adalah salah satu saksi otentik peristiwa bersejarah saat Soekarno-Hatta membacakan naskah Proklamasi pada 18 Agustus 1945 yang naskahnya diketik oleh suaminya, Muhammad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal dengan nama Sayuti Melik.

Bab III Tokoh Bangsa, Bab IV Wanita, Bab V Wanita, Bab VI Perjuangan Ekonomi Indonesia dan Bab VII SK Trimurti dimata Penulis.
"Buku ini bukan kado pribadi buat Ibu Tri, melainkan untuk kita sebagai generasi penerusnya, karena tulisan tulisan beliau dapat membantu kita dalam mengenali sejarah perjuangan perempuan, buruh, penegakan demokrasi dan keadilan di Indonesia," terang Guruh mengenai alasan penerbitan buku ini oleh yayasan yang dipimpinnya.
Dalam peluncuran buku ini, Yayasan Bung Karno juga menerbitkan 125 eksemplar buku edisi khusus yang juga dijual dengan harga khusus. Edisi ini dibuat dalam rangka menghimpun dana kesehatan bagi SK Trimurti yang saat ini tengah terbaring sakit di rumah sakit MMC di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Buku edisi sampul hard cover itu, dijual dengan harga Rp 1.000.000.
Harga tersebut memang terlihat mahal, namun masyarakat juga diingatkan jika hasil penjualan buku tersebut seluruhnya digunakan untuk biaya pengobatan SK Trimurti.
Dalam peluncuran buku tersebut, Yayasan Bung Karno rencananya menghadirkan SK Trimurti. Namun karena kondisi fisik yang lemah dan sakit karena usai tua yang dialami oleh SK Trimurti, maka rencana menghadirkan sang legenda itui tidak bisa dilakukan. Mewakili SK Trimurti adalah, anak keduanya, Heru Baskoro.
Hadir juga dalam acara tersebut adalah Herawati Diah, yang merupakan rekan SK Trimurti semasa berjuang dan juga mantan Menteri Koperasi Mohammad Ahadi dan mantan Panglima Angkatan Udara Indonesia, Oemar Dhani.
Pejuang Tiga Jaman
SK Trimurti atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Ibu Tri, adalah sosok pejuang wanita yang gigih. Dunia jurnalis Indonesia mengenal nama SK Trimurti sebagai legenda wartawan senior yang hidup dalam tiga jaman. Jaman penjajahan Belanda dan Jepang serta manisnya jaman kemerdekaan yang membebaskan Indonesia dari pahitnya penjajahan.
Kegigihannya dalam menentang penjajahan dan ketidakadilan tercermin dari tulisan-tulisannya yang selalu mengkritik penguasa waktu itu, meskipun hal tersebut dibayarnya dengan mahal, yakni masuk penjara.
Perempuan kelahiran 11 Mei 1912 itu harus rela untuk beberapa kali mendekam di penjara. Bahkan dua anak lelakinya, Moesafir Karma Boediman dan Heru Baskoro lahir dalam penjara Belanda yang kumuh dan sempit kala itu.
Tri muda mengenal dunia politik sejak tamat dari Sekolah Ongko Loro, yang waktu itu lebih dikenal dengan sebutan Tweede Inlandsche School dan setelah menjadi kader di Partindo.
Saat mengajar di sekolah dasar khusus wanita di Bandung, Tri muda harus merasakan dinginnya dinding penjara pada tahun 1936. Ia dihukum di Penjara Wanita, di Bulu, Semarang, akibat menyebarkan pamflet anti penjajah.
Sekeluarnya ia dari penjara, Belanda melarangnya jadi pengajar. Diapun bekerja di sebuah percetakan kecil, yang merupakan percetakan kaum pejuang. Disinilah ia belajar membuat atau mencetak koran dan majalah. Dan disinlah bakat menulisnya mulai terlihat.
Pada tahun 1937, Tri berkenalan dengan Sayuti Melik. Kedua orang aktivis politik ini pun mengikat janji untuk menjadi suami istri pada 19 Juli 1938. Maka jadilah mereka pasangan suami istri yang saling bahu membahu dalam dunia perjuangan. Tri kemudian kembali dipenjara karena menulis artiket menentang Belanda, meski akhirnya diberikan tahanan luar karena saat itu mengandung anak pertamanya.
Di jaman kemerdekaan, aktivitas SK Trimurti tidak menyurut. Dirinya tetap berani mengkritik pemerintahan Soekarno waktu itu, termasuk prinsip poligami yang dianut oleh sang presiden. Namun aktivitasnya itu tidak menghalanginya mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Tingkat V.
"Saya sedang dijothak (didiamkan) Bung Karno waktu itu karena memprotes poligami," tutur Trimurti dalam wawancara dengan Pantau beberapa waktu lalu.
Kini di usianya yang ke 95, anak pasangan Salim Banjaransari Mangunsuromo dan Saparinten binti Mangunbisomo itu tidak lagi bisa beraktivitas bebas. Wanita asal Solo yang pernah menjabat sebagai menteri Perburuhan di era kabinet Amir Syafiruddin itu hanya bisa tergolek lemah karena sakit diusianya yang senja. Peraih bintang Bintang Mahaputra Tingkat V dari Presiden Soekarno itu saat ini dalam perawatan intensif di Rumah Sakit MMC, di Jalan Rashuna Said, Jakarta, sejak satu tahun terakhir, setelah sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Cikini.
Meski pernah menyandang jabatan menteri, dan meraih penghargaan tertinggi dari pemerintah, bukan lantas kehidupan SK Trimurti bergelimpang harta.
Ibu dua cucu ini tetap hidup sederhana, bertempat di Jalan Kramat Lontar H-7, Kramat, Jakarta Pusat.
Kehidupannya menjadi berubah sejak terjatuh pada tahun 2000 dan dirawat dirumah sakit. Sejak itu, kesehatan terus menurun dan kerap masuk rumah sakit.
"Rumah di jalan Kramat Lontar dijual, kami punya hutang banyak untuk pengobatan ibu. Dan saat ini pengobatan hanya mengandalkan uang pensiun yang dua juta dan juga sumbangan dari pemerintah," terang Heru Baskoro yang saat ini hanya tinggal di rumah kontrakan di Bekasi.
Untuk malah ini, Guruh Soekarno Putra bersuara keras, dan menilai pemerintah kerap melupakan jasa para pahlawan.
"Bukankah negara yang besar adalah negara yang menghargai jasa pahlawannya. Namun lihatlah kondisi bu Tri. Tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah, khususnya biaya perawatan. Dan masih banyak lagi pahlawan perjuangan yang nasibnya tidak lebih baik yang luot diperhatikan," ucapnya.(harian surya, 15 mei 2007)

ayo nyumbang buku