Sejak bernama Jawatan, Perum, hingga Persero (PT Kereta Api Indonesia) yang tugasnya mengeruk untung seperti saat ini, kereta api ternyata tidak pernah berubah. Tak akan memanusiakan penggunanya, khususnya dari golongan miskin.
Yang saya tahu, sejak 10 tahun lalu, [kalau kata teman sih lebih lama lagi 20 tahun], tidak ada perubahan signifikan dari manajemen kereta api untuk memberikan fasilitas atau layanan yang lebih baik bagi pengguna setia [pasnya, bagi yang terpaksa] dari gerbong-gerbong tua kelas ekonomi yang tak layak, baik dari segi nyaman dan amannya.
Mungkin karena tiketnya yang murah, manajemen kereta api berbuat seenak udelnya. Tak ada fasilitas apapun yang bisa membuat penumpang kereta kelas ekonomi nyaman. Lampu mati, cendela kadang bolong tanpa kaca, kipas angin mati. Sementara gerbong mengangkut manusia melebihi kapasitas seharusnya sehingga tak ada lagi ruang kosong untuk duduk. Berdiri dengan nyaman pun akan susah, semua penuh, sampe bordes kereta yang seharusnya area bebas penumpang.
Belum lagi kalau pas rame, toilet [yang memang sudah tak berfungsi dengan benar karena tak ada air nya] menjadi semakin tak berfungsi karena dijadikan tempat duduk oleh tiga orang pria. Alhasil,orang yang mau pipis jadi kesusahan. Seperti yang saya alami ketika naik kereta Kertajaya (Pasar Senen Jakarta-Pasar Turi Surabaya), yang sangat penuh dengan penumpang Kamis (20 Desember 2007) malam kemarin.
Mereka yang pengen pipis [termasuk saya], hanya bisa menunggu kereta berhenti di stasiun. Tak masalah jika behenti lama. Tapi bagaimana kalau cuman berhenti sebentar, yang cowok mungkin dengan cepat berlari untuk kembali masuk kereta. Tapi bagaimana dengan ibu-ibu atau remaja putri yang pastinya geraknya tak secepat yang pria.
Kereta api kelas ekonomi bagaimana keadaannya tetap akan jadi primadona karena yang miskin memang tak punya pilihan. Namun apakah akan terus demikian? Apa karena tiketnya yang murah lantas manajemen kereta api Indonesia berhak semena-mena kepada penumpang? Dan lebih memperhatikan penumpang kelas bisnis dan eksekutif yang memang membayar lebih mahal?
Slogan Top 21 mu, yang melayani sama sekali tak berguna.
Kenapa tidak membuat kebijakan yang lebih manusiawi? Menambah frekuensi keberangkatan misalnya, sehingga penumpang tak perlu lagi berjejal dalam rangkaian gerbong yang sudah penuh dan pengab. Dan bukankan sudah menjadi tugas negara untuk melayani rakyatnya?
Dan jangan pula kau menjawab, `salah sendiri naik kelas ekonomi`. [terkutuklah yang menjawab seperti itu]
Jadi ku tantang kau, wahai Menteri Perhubungan, Direktur PT KAI dan seluruh jajaran direksi untuk naik kereta api ekonomi Jakarta-Surabaya atau semua jurusan lainnya.
Dan untuk kali ini, ajaklah istri, saudara-saudara perempuanmu, anak perempuanmu agar bisa merasakan susahnya pipis atau eeg di toilet-toilet jorok yang tak pernah tersedia air atau yang kadang sudah di tempati orang yang tak lagi kebagian tempat duduk di gerbong-gerbong reotmu.
Ini agar kau mengerti, dan setelah mengerti, semoga kau bisa membuat kebijaksanaan yang manusiawi, yang memanusiakan manusia yang membeli tiket mahal untuk kereta-kereta usang yang kau monopoli.