Wars Within : Cerita Majalah Tempo
Di Indonesia nama majalah Tempo sudah begitu melegenda. Selain berita-berita tajam hasil karya jurnalistik yang nyaris sempurna, tempo juga dikenal sebagai sosok majalah yang `Die Hard` jika memimjam istilah film Hollywood yang tenar berkat akting kocak Bruce Willis.
Dua kali sudah majalah ini dibredel oleh penguasa yang tak berkenan dengan pemberitaannya, tahun 1982 dan 1994. Belum lagi tuntutan-tuntutan perdata puluhan miliar rupiah dari orang-orang yang dibongkar belangnya oleh majalah yang terbit pertama kali pada Maret 1971 itu,- termasuk kasus gugatan Rp 1.000.000.000 miliar dan 2 miliar dolar AS-. Toh, majalah yang dipimpin oleh Goenawan Mohammad itu tetap eksis hingga sekarang.
Namun terlepas dari sosok Tempo yang tidak ada matinya, majalah ini mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia dengan penyajian berita-berita politik, dan konsitensinya untuk menyuarakan kebenaran di republik yang menyuburkan korupsi dan kolusi.
Dengan kata lain, Tempo mampu memerankan fungsinya sebagai pilar demokrasi, sebagai pendidik dan pengawas. Meskipun sangat berpengaruh karena menjadi majalah paling berpengaruh, sejarah majalah Tempo tidak banyak diketahui orang. Dan hal inilah yang disajikan oleh Janet Steele, Assosiate Professor pada The School of Media and Public Affair di Universitas George Whasington, dalam bukunya Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak zaman orde Baru. Buku edisi pertamannya berupa tulisan bahasa Inggris dengan judul Wars Within : The story of Tempo, namun kemudian di terjemahkan dengan baik dan lugas oleh Arif Zulkifli. Buku terbitan Dian Rakyat ini bercover gambar wajah pimpinan redaksi Tempo Goenawan Mohammad dan wajah Presiden RI ke-2 Soeharto. Wars Within yang memiliki 291 halaman, ditulis dengan gaya naratif yang enak dibaca. "Tempo menjadi sebuah majalah penting di Indonesia. Karena itu saya menulis dan melakukan penelitian untuk membuat buku tentang Tempo," ucap Janet, saat peluncuran buku Wars Wthin edisi bahasa Indonesia di Jakarta, Kamis (23/8). "Saya sungguh-sungguh berharap bisa menampilkan potret utuh Tempo," ucap Janet mengenai bukunya yang bisa disebut sebagai sebuah literatur yang ideal mengenai sejarh politik dan budaya Indonesia, atau setidaknya gambaran mengenai Tempo dari masa ke masa.
Banyak hal yang diceritakan oleh Janet dalam buku ini. Sejarah Tempo yang tidak banyak diketahui publik terpapar dengan jelas. wawancara dengan Goenawan Mohammad dan pendiri-pendiri Tempo membuat pemaparan sejarah dan pergolakan internal awak redaksi paska pembredelan kedua disajikan dengan runtut. Termasuk fakta jika Gunawan Mohammad sebenarnya tidak mau Tempo kembali terbit pada 1998 saat pintu reformasi terbuka lebar bagi pers. "Ego saya mengatakan Tempo tidak perlu terbit lagi," ucap Goenawan Mohammad dalam sebuah rapat dengan para awak redaksi Tempo yang dikutip oleh Janet pada bagian Epilog di bukunya. Goenawan yang disebut Janet sebagai sosok pria tampan, berkulit halus dan nyaris sempurna bahasa Inggrisnya itu, beralasan jika Tempo lebih baik tidak terbit, menjadi memori dan menjadi legenda pers di Indonesia. Hal menarik lainnya yang bisa diketahui publik adalah sejarah-sejarah menarik para punggawa redaksi, seperti latar belakangnya yang eks tapol dan pernah menghuni Pulau Buru.
Janet yang memperoleh Fullbright Professor dalam program American Studies di Universitas Indonesia juga memaparkan bagaimana Tempo menjalani posisi `mendua` semasa pemerintahan Soeharto. Meski Janet lebih suka untuk menyajikan pandangan independen Tempo dengan seringnya pemberitaan yang cenderung beresiko untuk menyerang pemerintahan yang terkenal otokratis, khas orde baru. Proses pemberitaan yang rumit, bagaimana redaksi menentukan apa yang pantas naik cetak dan yang tidak naik cetak seperti pada kasus cerita dari Pulaui Buru, peristiwa Tanjung Priok, dan pemberitaan korupsi, hingga kasus terakhir yang menimpa Tempo dengan tuntutan Tomy Winata juga tersaji menarik.
Bahkan terbilang cukup detail khususnya pada saat persidangan di Pengadilan Jakarta Selatan. Wars Within harus diakui memuat hal-hal menarik yang tersaji dari sebuah riset dan observasi mendalam yang dilakukan oleh Janet, termasuk pengayaan materi dengan menampilkan metode content analysis khas metodologi ilmu komunikasi. Namun buku ini juga cukup susah untuk `diterjemahkan` kepada siapa buku ini ditujukan sebenarnya.
[foto by nothing]